Antropologi alkitabiah telah menjadi subjek dari banyak penelitian. 3Lihat, mis., Hans Walter Wolff, Anthropology of the Old Testament (London: SCM, 1974); John W. Rogerson, Anthropology and the Old Testament, The Biblical Seminar (Sheffield: JSOT, 1984); Bernard Lang, ed., Anthropological Approaches to the Old Testament, Issues in Religion and Theology (Philadelphia: Fortress, 1985); Antonio Carmona Rodríguez, “El HombreEn El judaísmo,” Estudios Bíblicos 57 (1999): 589—611; Robert A. di Vito, “Old Testament Anthropology and the Construction of Personal Identity,” Catholic Biblical Quarterly 61 (2000): 217-238; Bernd Janowski, “Der Mensch Im Alten Israel. Grundfragen Alttestamentlicher Anthropologie,” Zeitschrift für Theologie und Kirche 102 (2005): 143—175; Gerald A. Klingbeil,“Between ‘I’ and ‘We’: The Anthropology of the Hebrew Bible and Its Importance for a 21st-Century Ecclesiology,” Bulletin for Biblical Research 19 (2009): 319—339; Annette Schellenberg, Der Mensch, das Bild Gottes? Zum Gedanken einerSonderstellung des Menschen im Alten Testament und in den weiteren altorientalischen Quellen, Abhandlungen zur Theologiedes Alten und Neuen Testaments 101 (Zurich: TVZ, 2011). Dalam penelitian ini kami meyakini sebelumnya pemahaman alkitabiah tentang sifat holis-tik manusia, sebagaimana tercermin dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. 4Lihat Norman R. Gulley, Systematic Theology: Creation, Christ, Salvation (Berrien Springs, Mich.: Andrews UniversityPress, 2012), 109-116. KN 168.1
Yang menentang dualisme adalah monisme alkitabiah, posisi yang menu-rutnya semua ekspresi kehidupan batin bergantung pada seluruh sifat manusia, termasuk sistem organik. Komponen manusia yang berfungsi sebagai satu kesatuan. Tidak ada jiwa atau roh yang dapat dipisahkan dari tubuh dalam keadaan sadar. 5Aecio E. Cairus, “The Doctrine of Man,” dalam Handbook of Seventh-day Adventist Theology, ed. Raoul Dederen; Commentary Reference Series 12 (Hagerstown, Md.: Review and Herald®, 2000), 212. KN 168.2
Sebagai manusia, kita diciptakan menurut gambar Allah (Kej. 1: 26, 27). 6Dalam penelitian sebelumnya dikatakan bahwa kapasitas untuk berbicara dan mengekspresikan emosi yang kompleks dalam bahasa adalah bagian tak terpisahkan dari diciptakan dalam gambar Allah. Cf. Gerald A. Klingbeil, “‘He Spoke and It Was’: Human Language Divine Creation, and the imago Dei,” Horizons in Biblical Theology 36, no. 1 (2014): 42-59, esp. 45-49. Karena kita diciptakan menurut gambar Allah, kita dapat berasumsi bahwa emosi kita mencerminkan emosi Allah, meskipun emosi kita tunduk kepada dosa, sementara Dia tidak. Kami tidak percaya pada dualitas manusia, memisahkan tubuh dari jiwa. Alih-alih, kami berpendapat untuk pandangan menyeluruh tentang manusia di mana emosi merupakan bagian integral dari keseluruhan keberadaan. 7Cairus, 205—232. Sejak awal akan penting untuk mengulangi yang sudah jelas: para nabi adalah orang-orang yang membawa semua kepribadian mereka ke dalam jabatan kenabian mereka. Namun, sebelum kita melihat keterlibatan emosional para nabi dalam pelayanan dan tulisan mereka, penting untuk mencoba mene-mukan definisi cara kerja kata emosi. KN 168.3